La Sape, Budaya Mode Kongo yang Rela Hidup Miskin demi Penampilan
Habered – Komunitas La Sape di Kongo menjadi fenomena budaya yang unik sekaligus kontras, mencuri perhatian dunia dengan gaya elegan. Meski mayoritas anggotanya berasal dari kalangan sederhana, buruh, supir taksi, petani, hingga tukang kayu, mereka tampil dengan busana bak konglomerat atau model Eropa. Beberapa bahkan mengenakan setelan rancangan desainer kelas dunia, meski harus mengorbankan hampir seluruh penghasilan mereka.
La Sape merupakan singkatan dari Société des ambianceurs et des personnes élégantes atau Society of Atmosphere-setters and Elegant People. Gaya ini berakar sejak awal abad ke-20, saat Kongo masih berada di bawah kolonial Belgia-Prancis. Saat itu, para pekerja lokal kerap menerima pakaian bekas tuan kolonial. Di luar jam kerja, mereka mengenakan pakaian ala pria Prancis yang penuh warna, sepatu mewah, topi bowler, tongkat, hingga kacamata hitam. Dari sinilah lahir sebutan sapeurs (untuk pria) dan sapeuses (untuk perempuan).
“Baca Juga: Kangaroo Meat, Sajian Ekstrem yang Jadi Ikon Kuliner Australia”
Bagi masyarakat terjajah kala itu, berpakaian elegan adalah bentuk pelarian sekaligus perlawanan simbolis terhadap penderitaan. Hingga kini, semangat itu tetap hidup, menjadikan La Sape lebih dari sekadar gaya, melainkan identitas budaya Kongo.
Mengutip Al Jazeera, La Sape kini berkembang menjadi ideologi: “bahagia dan elegan, bahkan bila perut kosong.” Para pengikutnya percaya bahwa busana memberi mereka energi, kepercayaan diri, serta martabat. Musisi, politisi, bahkan masyarakat umum menghormati keberadaan mereka sebagai simbol keanggunan khas Kongo.
Namun, tidak sedikit warga yang memandang La Sape sebagai obsesi berlebihan. Bagi sebagian orang, kebiasaan menghabiskan uang demi pakaian dianggap sebagai kecanduan yang bisa merugikan kehidupan ekonomi.
Komitmen sapeurs terhadap keaslian busana sangat tinggi. Menurut Tariq Zaidi, penulis buku Sapeurs: Ladies and Gentlemen of the Congo, seorang anggotanya bisa menabung bertahun-tahun hanya untuk membeli setelan jas seharga US$2.000 (sekitar Rp28 juta). Mereka menolak memakai barang palsu, lebih memilih membeli kemeja seharga ratusan dolar dibanding menabung untuk rumah atau kendaraan.
“Bagi saya, La Sape hanyalah tentang kebersihan: Saya merasa nyaman dengan setelan Ozwald Boateng saya, jadi saya memakainya,” ujar Aime Champaigne, salah satu pengikut setia La Sape.
La Sape membuktikan bahwa fashion bukan sekadar soal penampilan, melainkan juga pernyataan identitas, kebanggaan, dan bentuk ekspresi sosial. Bagi komunitas ini, kemiskinan bukan alasan untuk tampil seadanya, justru gaya adalah cara mereka menantang realitas hidup.
“Simak Juga: Ingin Perut Rata? Konsumsi 8 Buah Ini Selama Sebulan”
This website uses cookies.