
Hikikomori Di Jepang: Ketika Dunia Dipilih untuk Dijauhi
Habered – Di balik citra Jepang sebagai negara maju dan masyarakat yang disiplin, tersembunyi sebuah fenomena sosial yang mengkhawatirkan: hikikomori. Istilah ini mengacu pada individu yang memilih untuk mengisolasi diri sepenuhnya dari kehidupan sosial, terkadang selama bertahun-tahun, tanpa sekolah, pekerjaan, atau bahkan interaksi dengan keluarga.
Secara harfiah, “hikikomori” berarti menyendiri atau menarik diri. Namun dalam konteks sosial dan psikologis, hikikomori merujuk pada kondisi ekstrem di mana seseorang mengurung diri di dalam kamar selama minimal enam bulan, menolak untuk keluar atau bersosialisasi. Mereka sepenuhnya bergantung pada orang tua atau anggota keluarga lain untuk kebutuhan sehari-hari.
Fenomena ini pertama kali ada pada tahun 1990-an dan sejak itu telah menjadi salah satu isu kesehatan mental paling serius di Jepang.
“Baca Juga: Merayakan 7 Bulan Kehamilan ala Jawa Lewat Tradisi Mitoni”
Budaya Jepang yang sangat menekankan kesuksesan akademik dan profesional seringkali memberikan tekanan besar, terutama bagi anak muda. Mereka yang gagal memenuhi standar ini sering merasa malu atau tidak berguna. Alih-alih menghadapi dunia, mereka memilih untuk menarik diri sebagai bentuk perlindungan diri.
Selain itu, perundungan di sekolah (ijime), kegagalan dalam dunia kerja, masalah keluarga, atau gangguan mental seperti depresi dan kecemasan sosial juga menjadi pemicu umum hikikomori.
Saat ini kemungkinan ada lebih dari 1 juta hikikomori di Jepang. Mereka dikenal sebagai “generasi yang hilang” karena menghilang dari produktivitas ekonomi dan interaksi sosial. Dengan populasi menua dan jumlah tenaga kerja menurun, fenomena ini menjadi beban tersendiri bagi ekonomi Jepang.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya “hikikomori tua”, yakni orang-orang berusia di atas 40 tahun yang telah hidup terisolasi selama puluhan tahun, serta fenomena “8050 problem”, ketika orang tua berusia 80-an masih merawat anak hikikomori berusia 50-an.
Pemerintah Jepang dan berbagai organisasi kini mulai memberikan perhatian lebih. Layanan konseling, komunitas dukungan, serta program kunjungan rumah menjadi bagian dari strategi untuk membantu para hikikomori keluar dari isolasi secara bertahap.
Pendekatan yang digunakan biasanya lembut dan tidak menghakimi. Bukan paksaan, tapi pendampingan, karena mereka bukan penjahat, melainkan individu yang terluka oleh kerasnya dunia luar.
Hikikomori adalah cermin dari tantangan mental dan sosial modern yang tak hanya terjadi di Jepang, namun juga mulai muncul di negara lain. Ini mengingatkan kita bahwa di balik statistik dan rutinitas harian, ada individu-individu yang butuh untuk didengar, bukan dihakimi. Mereka tidak membutuhkan belas kasihan, mereka membutuhkan ruang aman untuk kembali mempercayai dunia.
Informasi ini bersumber dari detikedu. Di balik citra Jepang sebagai negara maju dan masyarakat yang disiplin, tersembunyi sebuah fenomena sosial yang mengkhawatirkan: hikikomori. Simak pembahasan lengkapnya di Habered.
|Penulis: Lukman Azhari
|Editor: Anna Hidayat
This website uses cookies.